Rabu, 07 September 2011

TUTUG OPAK

Hari ini mulai masuk sekolah setelah liburan Idul fitri, dan seperti biasa aku kembali melakukan rutinitas di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Sehabis salat subuh aku langsung ke dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi. Suamiku membangunkan anakku yang bontot, karena ia agak manja dan harus berkali-kali membangunkannya, mungkin karena ia anak bungsu kata temanku waktu itu ketika aku curhat tentangnya.
Tak lama kemudian si bungsu masuk kamar mandi, dan langsung terdengar ceburan air dari kamar mandi tanda ia langsung mandi. Setelah keluar dari kamar mandi ia berteriak :" Bu, aku mau nasi tutug opak". katanya yang kau iyakan permintaannya. Ya, begitulah sejak pulang mudik lebaran kemarin, anakku yang satu ini setiap hari selalu minta dibuatkan nasi tutug opak. Begitulah ia, jika sudah gandrung pada sebuah jenis makanan, maka ia selalu memintanya setiap hari hingga ia merasa bosan sendiri. Dan anak itu sangat Indonesia banget dalam selera makanan, apa lagi makanan khas orang Sunda. Diantara makanan kesukaannya, karedok leunca, gepuk, rendang, sambal dan lalapan mentah, dan cemilannya singkong rebus, ubi rebus, keripik singkong, ali agrem dan lainnya.  Jika kami jalan-jalan, anakku selalu meminta makan di rumah makan Sunda. Ia tak malu jika disebut "anak kampung" atau bukan" anak gaul", karena ia tidak suka Pizza, burger atau makanan impor lainnya. Kayanya perut anakku itu memang diciptakan Allah untuk perut Indonesia, hahaha....begitulah.
Maka tak heran jika kami pulang kampung, ia selalu dimanjakan oleh Emakku (neneknya) dengan makanan-makanan khas kampung yang biasanya Emakku membuatnya sendiri. Ya, Emakku sangat mempertahankan tradisi sunda terutama dalam masalah kuliner. Jika lebaran, di saat orang lain sibuk membuat kue nastar, keju, semprit dan lain-lain, maka Emakku sibuk membuat papais Cisaat yang khas sekali karena bungkusnya saja daun yang langka yaitu daun bangban, ali agreum, ladu, opak dan rengginang.
Seperti saat kami mudik lebaran kemarin juga, saat kami keluarga besar menyelenggarakan buka bersama di rumah emak karena anak-anaknya pada kumpul, emak menyediakan nasi tutug opak, ikan asin bakar, sambal dan lalapan disamping makanan yang kami buat sendiri. Maka, tak ayal lagi anakku langsung menyukainya, hingga saat sahur dan buka puasa  pada hari berikutnya meminta disediakan nasi tutug opak.
Sebetulnya membuat nasi tutug opak itu sederhana saja, tak beda dengan nasi tutug oncom. Bahan bakunya yaitu, nasi, garam dan opak. Hanya saja yang membuatnya menjadi khas dan lebih enak karena cara menanak nasinya. Emakku termasuk orang yang bertahan memasak memakai kayu bakar seperti dulu walau pun sudah tersedia kompor gas. Namun kompor gas hanya digunakan untuk memasak lauknya saja, sedangkan untuk menanak nasi beliau tetap menggunakan tungku dan kayu bakar. Serta alat untuk menanak nasinya tetap bertahan yaitu menggunakan seeng (dandang) dan aseupan (kukusan dari anyaman bambu), terus mengaroninya juga di dulang (sebuah alat untuk mengaduk nasi yang terbuat dari kayu yang bentuknya seperti bakul). Setelah nasi matang, nasi tersebut diakeul ( diaduk-aduk) dengan cukil kayu (centong) sambil dikipasi menggunakan hihid (kipas yang terbuat dari anyaman bambu). Deangan cara seperti itu nasi menjadi lebih pulen dan tentu saja rasanya juga enak. Setelah cukup di-akeul maka tinggal membuat nasi tutugnya dari bahan yang tadi.
Saat azan magrib tiba, kami semua menyerbu nasi tutug opak buatan emak, yang ternyata kami semua menyukainya. Terutama anak-anak ema yang semuanya sudah berkeluarga tentunya sangat merindukan makanan yang dibuat oleh tangan Emak sendiri. Duh, bahagia rasanya kami masih dapat mencicipinya kembali.
Sebetulnya kami juga tidak tega jika melihat Emak yang sudah tua sibuk di dapur jika kami mengunjunginya, namun emak kelihatannya tidak suka jika kami larang dan beliau selalu ingin menyediakan makanan kesukaan anak-anak dan cucunya yang dibuatnya sendiri.
Saat aku dan keluarga kecilku mau balik lagi ke Bandung, anak bungsuku minta dibekali  nasi tutug opak lagi. Dan dengan senang hati Emak membuatkannya. Nasi tutug yang telah dibuat itu kemudian dibungkus dengan daun pisang yang istilah populernya ditimbel. Hingga ketika kami tiba kembali ke rumah, maka kami pun tidak kelaparan karena telah dibekali nasi tutug opak yang saat ini menjdi makanan favorit anakku. Ah, seandainya Emak sudah tiada apakah masih ada orang yang membuatkan nasi tutug jika kami mudik ?. Ya Allah panjangkanlah usia Emak dan sehatkanlah beliau. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar